PUISI Puisi Pilihan 

Sajak-sajak Rukmi Wisnu Wardani

Rukmi Wisnu Wardani (Dani) lahir di Jakarta. Sarjana Teknik Architecture Landscape (Fakultas Architecture Landscape dan Teknologi Lingkungan) Universitas Trisakti, ini mulai menulis sejak tahun 2000 di dunia maya. Kemudian puisinya juga dimuat di berbagai media cetak seperti Republika, Bentara Kompas, dan Media Indonesia. Sajak-sajaknya juga terhimpun dalam berbagai buku antologi puisi, antara lain Graffiti Gratitude (2000), Surat Putih 1 (2000), Cyberpuitika dalam format CD ROM (2002), Surat Putih 2 (2002), Puisi Tak Pernah Pergi (Kompas, 2003), antologi cerpen Batu Merayu Rembulan (2003), Bisikan Kata Teriakan Kota (DKJ, 2003), Sastra Senja (DKJ, 2004), Cyberpunk Les Cyberlettres (2005), Surat Putih 3 (2005), Karena Namaku Perempuan (2005), Jalan Bersama II (2008), dan buku kumpulan puisi Temu Sastra MPU (Mitra Praja Utama) 2008. Manuskrip buku kumpulan puisinya, Banyak Orang Bilang Aku Sudah Gila, masuk dalam 5 besar Komunitas Sastra Indonesia Award (2003). Hadir dan tampil di berbagai acara sastra baik dalam maupun luar negeri. Terbaru, tampil sebagai pembicara dan pembaca puisi dalam Forum Penyair ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 3 September 2016.

 

Lukisan Perempuan

 

gaun hitam kukenakan. maut mengundangku

datang ke sebuah upacara perkabungan.

beraroma garam sepercik parfum kukenakan

sebagai tanda penghormatan

 

menghikmati nafasnya yang berlepasan

kuseberangi akar rambutnya yang selembut ganggang

terbang ke gua tebing tempat burung-burung angin

menatah asal muasal sejarah lewat paruhnya yang tajam

 

ombak menggores awan

langit memandang bulan

di parasnya yang selicin pualam

 

hujan berdatangan dalam adegan lambat

kuabadikan derajat kemiringannya

sepejam cakrawala yang larut tanpa tergesa

sesederhana pasukan bintang

yang menyunggi nafas terakhirnya

 

selepas detik ditentukan

hymne berkumandang

sepasang lututku kandas di bongkahan karang

 

 

Menyelami Rahasia Makrifatmu

: Nabi Khidir AS

 

menyelami rahasia makrifatmu

sesungguhnya kau telah mengajari kami

bagaimana cara melubangi perahu jasmani

dengan tongkat musa (alif yang paling berharga)

biar hanyut segala lalai di dalam diri kami

 

menyelami rahasia makrifatmu

sesungguhnya kau telah mengajari kami

bagaimana cara membunuh anak nafsu

dengan pisau sejati, biar tak tersesat

akal dan fikir kami

 

menyelami rahasia makrifatmu

sesungguhnya kau telah mengajari kami

bagaimana cara memperbaiki rumah jiwa

biar tak terlantar ruh kami

(harta karun yang paling tersembunyi)

 

menyelami rahasia makrifatmu

sungguh kini kami mengerti

mengapa salah seorang pengikut musa

bercerita kepadanya tentang seekor ikan

yang menarik jala jauh ke kedalaman samudera

sesaat sebelum kau muncul dihadapannya

 

 

Anyelir

 

mungkin pernah ditatahnya senyum seseorang saat matahari beranjak remaja di tanah kelahirannya. jauh sebelum berguncang bumi menelan segala.

 

mungkin pada akhirnya dipeluknya sunyi pundak udara dan dibiarkan dirinya berputar seirama tarian dansa. walau memercik api di lentik jemari kakinya hingga tuntas dilumat lambaian jariknya

 

mungkin ialah anyelir yang tercerabut tatatanan sunggarnya. mungkin ialah anyelir yang tak lagi bicara pada simpul gelungnya. mungkin ialah anyelir yang terjaga sampai akhir hayatnya dan tak mengerti mengapa bulan begitu kejam membunuh kisah cintanya

 

kecuali sepasang bahasa yang berceloteh mesra pascaperang di bawah wuwungan sebuah rumah tua. kecuali para pencuri yang sibuk berebut sekaleng beras di dalam dapurnya

 

 

 

Dapur

 

kita tak pernah tahu apa yang pernah digerus ibu di dapur tuanya. mungkin bumbu, amarah, rindu, airmata atau sebakul doa

 

kita hanya tahu setelah ibu tak lagi menjejakkan langkahnya disana. seperangkat mutu dan cobek tersusun rapi. sepi. kecuali alunannya yang terus menggema. menggerus hati kita. tanpa henti.

 

ya tuhan, betapa agungnya episode surga yang pernah menyala di dapurnya

 

 

Ziarah

 

melawat candimu. segala artifak jadi penanda

kisah porak poranda. di bawah rindang pohonan

tempat matahari tak sudi menitipkan cahayanya

basah aroma lumut jadi penunjuk arah

tempat wujudmu menjelma arca

 

sebagai peziarah aku hanya mampu mengunyah doa

sambil menabur segenggam bunga yang tak lagi

karuan wajah petalnya

 

katakan padaku berapa banyak sepi

membunuhmu tiap kali hujan

datang tanpa permisi

 

 

Kapal

 

kelak kau akan mengerti mengapa tangan harus kuat menggenggam, nak

sebab sejarah muncul dari segala remah yang tertatah

 

begitu pun jika kau berlayar satu hari nanti

aku akan mengingatmu seperti siang yang gagah

pada sebuah anak tangga yang mengharamkan kita

meneteskan airmata kecuali untuk bersyukur dan berbagi bahagia

 

karena waktu bukan

kita yang punya

 

 

Upawasa

 

seumpama pupur di pualam kening seorang perempuan

atau semerbak ratus di lipatan wiru peradaban

dengan atau tanpa geliat hujan tarian kupu-kupu

mungkin tinggal riasan mimpi yang membosankan

 

namun selama nafas menggenang

selama asap dupa menyunggi jiwa-jiwa sembahyang

melipat bisu dekapan mutlak dilakukan

jikalau paham dimana upawasa rindu harus diletakkan

jauh sebelum sebilah pedang diayunkan

 

 

Aksara

 

pernah kujahit huruf satu demi satu

aku tertusuk ketika itu

 

merah yang terlambat kucecap

jatuh ke selembar kain tak bernama

 

mereka menyebar, meresap lantas membangun

puluhan rumah di kedalaman jalinan seratnya

 

menelusuri riwayat gaduh angin yang memorak poranda

aku tak mampu menghapus gontai jejaknya

 

maka kubingkai mereka seumpama aksara

yang tak sempat mengenakan bahasanya

 

 

Nyanyian Pantai

 

garam nadamu mengekal di gua karang

aku suka cara kau merobek mimpi sekaligus

memori di bentang layar itu

terik. bengis. dan menyakitkan

 

tapi tidak untuk sekelompok burung petang

yang bergelimpangan di kaki mercusuar

sesaat setelah kau gunting cakrawala tanpa sisa

hingga mereka kehilangan sepasang sayapnya

 

sebagai kenang-kenangan garam nadamu kubawa pulang

kutampung dalam sebuah rumah kerang

kujadiakan ganjil pajangan bertanda nisan

 

 

Bulan Terpejam

 

seperti malam yang kehilangan matanya
ketika kuteriakkan berjuta lapar keringat para lelaki itu
meleleh tanpa sebab dan aku adalah satu dari sekian
banyak betina yang meronta di dalam kuilnya

seperti barisan hantu malam yang patuh menggali
kuburnya sendiri. aku bersimpuh di hadapannya
seperti anjing yang memohon keadilan
lewat air liur yang bercucuran

tapi para lelaki itu merampas ketidakberdayaanku
seiris demi seiris dan melemparkannya bagai seonggok
daging yang diserbu segerombolan serigala liar

sejuta kebisuan menggulung batinku tenggelam
ke dasar telaga. dan menjadikannya sebait gending luka
yang tak terjemahkan sepanjang abad karena gelombang
laut yang membentur-bentur tubuhku adalah wajah-wajah
beringas yang menikam jiwa para betina sesaat sebelum
mereka mencampak tubuhnya

sungguh. tidakkah sesal membangunkannya ketika tuhan
tengah terbaring menangisi keperawanannya yang hilang?

kemarilah lelaki!
menarilah di dalam kamarku seperti banci tikus yang telanjang
agar dapat kuinjak ekormu sebelum kucabu

jantungmu dan kugantung bangkai harammu

sebagai puncak tontonan murkaku yang tersembunyi

Related posts

Leave a Comment

thirteen + twelve =